Pemerintah RI telah meratifikasi United Nations Convention on
the Law of the Sea (UNCLOS) 1982
melalui UU No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on
The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Tentang Hukum Laut).
Dari 17.504 pulau di Indonesia, terdapat 92 (sembilan puluh dua)
pulau-pulau kecil yang dijadikan sebagai titik dasar dan referensi untuk
menarik garis pangkal kepulauan yang berbatasan langsung dengan 10
(sepuluh) negara tetangga di
wilayah laut yang tersebar pada 10 (sepuluh) provinsi.
Dan dari data Strategi Nasional (Stranas) Pembangunan Daerah Tertinggal
terdapat 26 (dua puluh enam) kabupatenyang
berbatasan langsung dengan negara tetangga.
Pengelolaan wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar selama ini belum terintegrasi dengan baik, dimana tiap Departemen
cenderung berjalan berdasarkan kepentingan masing-masing dan mengabaikan
keterpaduan.
Wilayah perbatasan laut
pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk
pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan
yang lebih intensif karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara
tetangga. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melakukan penyelesaian
masalah garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga dengan
semangat good neighboorhood policy atau semangat kebijakan negara bertetangga
yang baik, seperti :
1. Indonesia-Malaysia
Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan
diberlakukan sebagai keadaan status quo). Pada tanggal 27 Oktober 1969
dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang
disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia
kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama
berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta
baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca)
tentunya hal tersebut membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia
maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali
ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan
tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru
mengenai tapal batas kontinental dan maritime yang secara sepihak membuat
perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam
wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik. Indonesia memprotes dan
menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas
Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal
batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970.
Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari
pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap
wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan
sebagai bagian dariMalaysia oleh Mahkamah Internasional.
Batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia ditarik dari dekat
Singapura dan berakhir di dekat Pulau Batu Mandi di Selat Malaka. Artinya tidak
ada batas perairan yang berupa batas laut wilayah antara Malaysia dan Indonesia
setelah Pulau Batu Mandi ke arah Barat Laut di Selat Malaka. Yang ada hanyalah
batas landas kontinen yang ditetapkan pada tahun 1969. Batas landas kontinen,
sesuai dengan hukum laut internasional, merupakan batas yang memisahkan dasar
laut dua atau lebih negara. Batas landas kontinen tersebut tidak mengatur batas
tubuh air. Sehingga secara umum, batas landas kontinen ini berlaku dalam hal
pengelolaan lapisan di bawah laut (dasar laut) yang biasanya digunakan untuk
pertambangan lepas pantai (off shore).
Masalah yang sering terjadi :
Penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian
wilayah perairan Selat Malaka masih belum disepakati ke dua negara.
Ketidakjelasan batas maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan
antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia.
Demikian pula dengan perbatasan darat di Kalimantan, beberapa
titik batas belum tuntas disepakati oleh kedua belah pihak. Permasalahan lain
antar kedua negara adalah masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan
penyelundupan. Forum General Border Committee (GBC) dan Joint Indonesia
Malaysia Boundary Committee (JIMBC), merupakan badan formal bilateral dalam
menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara yang dapat dioptimalkan.
2. Indonesia-Singapura
Batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura ditentukan atas
dasar hukum internasional. Perjanjian ini didasari atas Konvensi PBB Tentang
batas wilayah laut (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS)
pada 1982. Kedua negara juga turut meratifikasi UNCLOS. Ratifikasi dari batas
wilayah laut yang disetujui ini merupakan kelanjutan dari perjanjian batas
wilayah laut yang sebelumnya telah disetujui oleh kedua negara sebelumnya pada
25 Mei 1973. Sementara perjanjian terbaru yang diratifikasi, mempertegas batas
wilayah laut dari Pulau Nipa hingga Pulau Karimun Besar. Sedangkan pada sebelah
barat, pihak keamanan dan petugas navigasi dari kedua negara dapat melaksanakan
tugas mereka secara signifikan tanpa ada gangguan di wilayah Selat Singapura.
Perjanjian ini akan menentukan dasar hukum bagi petugas berwenang
kedua negara dalam menjaga keamanan, keselamatan navigasi, penegakan hukum dan
pengamanan atas zona maritim berdasarkan hukum yang berlaku. Indonesia dan
Singapura masih harus menyelesaikan masalah perbatasan mereka di wilayah timur
antara Batam dan Changi dan lokasi diantara Bintan serta South Ledge, Middle
Rock dan Batu Puteh. Penyelesaian batas wilayah timur ini masih menunggu
negosiasi antara Singapura dan Malaysia yang masih harus dilakukan usai
Pengadilan Internasional memerintahkan Singapura dan Malaysia untuk melakukan
perundingan pada 2008 lalu.
Masalah
yang sering terjadi :
Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni
wilayah yang berbatasan langsung dengan Sinagpura, telah berlangsung sejak
tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan
mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu
mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu
oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh
penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para
nelayan.
Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau
kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya
pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena
dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan
batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.
3. Indonesia-Filipina
Proses perundingan batas maritim RI – Filipina yang dilakukan
sampai dengan tahun 2007 telah mencapai kemajuan yang signifikan dengan
dihasilkannya kesepakatan atas garis batas diantara kedua Tim Teknis Perunding.
Saat ini proses perundingan masih tertunda karena persoalan internal di pihak
Filipina, yaitu dikeluarkannya Republic Act No. 9522 bulan Maret 2009, yang berisikan
perubahan dari penetapan titik-titik dasar garis pangkal (baseline) negara
kepulauan Filipina, yang sebelumnya ditetapkan dalam Republic Act No. 3046
tahun 1961 dan Republic Act No. 5446 tahun 1968. Pada kesempatan pertemuan
bilateral tingkat kepala negara antara RI-Filipina yang diselenggarakan pada
tanggal 8 Maret 2011, Menteri Luar Negeri kedua negara telah menandatangani
Joint Declaration between the Republic of Indonesia and the Republic of the
Philippines concerning Maritime Boundary Delimitation, yang intinya:
- Mempercepat proses penyelesaikan penetapan batas maritim
RI-Filipina sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982;
- Menginstruksikan Tim Teknis Bersama Penetapan Batas Maritim
antara Republik Indonesia dan Republik Filipina untuk bertemu dalam waktu yang
secepat mungkin
Masalah yang sering terjadi :
Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia
dengan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu
isu yang harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC)
dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda
sidang secara berkala, dapat dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan
kedua negara secara bilateral.
4. Indonesia-Thailand
Batas Landas Kontinen telah diselesaikan. penetapan garis batas
landas kontinen kedua negara terletak di Selat Malaka dan laut Andaman.
Perjanjian ini ditandatangai tanggal 17 Desember 1971, dan berlaku mulai 7
April 1972. Sedangkan untuk batas ZEE masih dirundingkan. Pertemuan penjajagan
awal telah dilaksanakan tanggal 25 Agustus 2010 di Bangkok. Thailand
masih memerlukan konsultasi dengan parlemen untuk berunding.
Masalah yang sering terjadi :
Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah
perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara
ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki
perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di
kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan
oleh nelayan Thailand yang mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan
masalah keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing
merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai Indonesia.
5. Indonesia-Vietnam
Indonesia dan Viet Nam telah menyelesaikan perjanjian batas Landas
Kontinen pada tahun 2003. Batas landas kontinen antara Indonesia – Vietnam
ditarik dari pulau besar ke pulau besar (main land to main land). Dalam
perjanjian tersebut Indonesia berhasil meyakinkan Vietnam untuk menggunakan
dasar Konvensi Laut UNCLOS 1982. Dengan demikian prinsip Indonesia sebagai
negara Kepulauan telah terakomodasi. Permasalahan batas maritim antara
Indonesia dan Viet Nam yang masih harus dirundingkan adalah penetapan garis
batas ZEE. Pertemuan pertama untuk membahas garis batas ZEE telah dilangsungkan
pada bulan Mei 2010 di Hanoi dan telah dilanjutkan pada pertemuan terakhir
bulan Juli 2011 di Hanoi. Kedua negara kini tengah menjajaki untuk mempelajari
proposal garis batas ZEE masing-masing.
Masalah yang sering terjadi :
Wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan
Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki
kontur landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman
di antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan
perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut.
6. Indonesia-Australia
Perairan antara Indonesia dengan Australia meliputi wilayah
yang sangat luas, terbentang lebih kurang 2.100 mil laut dari selat
Torres sampai perairan P.Chrismas. Perjanjian perbatasan maritim antara
Indonesia dengan Australia yang telah ditentukan dan disepakati, menjadi sesuatu
yang menarik untuk dipelajari perkembangannya, karena perjanjian tersebut
dilaksanakan baik sebelum berlakunya UNCLOS ’82 (menggunakan Konvensi Genewa
1958) maupun sesudahnya. Perjanjian yang telah ditetapkan juga menarik karena
adanya negara Timor Leste yang telah merdeka sehingga ada perjanjian (Timor Gap
Treaty) yang menjadi batal dan batas-batas laut yang ada harus dirundingkan
kembali secara trilateral antara RI – Timor Leste – Australia.
Secara Garis besar perjanjian batas maritim Indonesia – Australia
dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
· Perjanjian perbatasan pada tanggal 18 Mei
1971 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah perairan selatan Papua dan Laut
Arafura.
· Perjanjian perbatasan pada tanggal 9
Oktober 1972 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah Laut Timor dan Laut
Arafura.
· Perjanjian perbatasan maritim pada tanggal 14
Maret 1997 yang meliputi ZEE dan Batas Landas Kontinen Indonesia Australia dari
perairan selatan P.Jawa termasuk perbatasan maritim di P.Ashmore dan
P.Chrismas.
Pada tanggal 9 September 1989 telah disetujui pembagian Timor Gap
yang dibagi menjadi 3 area (A,B dan C) dalam suatu Zone yang disebut ”Zone Of
Cooperation”. Perjanjian Timor Gab ini berlaku efektif mulai tanggal 9 Februari
1991, perjanjian ini juga tidak membatalkan perjanjian yang sudah ada
sebelumnya, namun dengan merdekanya Timor Leste maka perjanjian ini secara
otomatis menjadi batal.
Masalah yang sering terjadi :
Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas
landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian
RI-Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas
yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara
trilateral bersama Timor Leste.
7. Indonesia-India
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus
yang ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut
Andaman. Hal itu berdasarkan persetujuan pada 14 Januari 1977 di New Delhi,
tentang perjanjian garis batas Landas Kontinen kedua negara. Namun, pada
beberapa wilayah batas laut kedua negara masih belum ada kesepakatan.
Masalah yang sering terjadi :
Perbatasan kedua negara terletak antara pulau Rondo di Aceh dan
pulau Nicobar di India. Batas maritim dengan landas kontinen yang
terletak pada titik-titik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera
Hindia dan Laut Andaman, sudah disepakati oleh kedua negara. Namun permasalahan
di antara kedua negara masih timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah
oleh kedua belah pihak, terutama yang dilakukan para nelayan.
8. Indonesia-Papua Nugini
Batas darat Indonesia dan Papua New Guinea didasarkan pada
perjanjian Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas Indonesia dan
Papua Nugini.Ditandatangani pada Tanggal 12 Februari 1973 di
Jakarta. Pemerintah selanjutnya meratifikasi perjanjian tersebut dengan
membentuk Undang-undang Nomor 6 tahun 1973. Namun sampai saat ini perjanjian
bilateral tersebut belum menjadi landasan legal bagi survey dan demarkasi batas
darat antara kedua negara. Sebagai bagian dari perjanjian bilateral 1973, telah
didirikan 14 pilar MM di sepanjang perbatasan Indonesia dan Papua Nugini.
Titik-titik tersebut ada di 141° Bujur Timur, mulai dari pilar MM1 sampai
dengan MM10. Selanjutnya mulai dari pilar MM11 sampai dengan pilar MM14 berada
pada meridian 141° 01’ 10". Pilar MM10 dan MM11 batas kedua negara
mengikuti Thalweg dari sungai Fly. Selain ke 14 pilar MM, antara tahun 1983-
1991, sesuai amanat Pasal 9 Perjanjian 1973 antara Indonesia dengan Papua
Nugini, telah didirikan 38 Pilar MM baru. Sehingga sampai saat ini telah
berdiri 52 pilar MM di sepanjang garis perbatasan. Penambahan 38 pilar MM baru
tersebut saat ini masih tertuang dalam Deklarasi Bersama (Joint declaration)
yang ditandatangani oleh otoritas survey and mapping kedua pemerintahan.
Masalah yang sering terjadi :
Indonesia dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan
maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan
timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar
penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan klaim terhadap
hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari.
9. Indonesia-Timor Leste
Berdirinya negara Timor Leste sebagai negara merdeka, menyebabkan
terbentuknya perbatasan baru antara Indonesia dengan negara tersebut.
Perundingan penentuan batas darat dan laut antara RI dan Timor Leste telah
dilakukan dan masih berlangsung sampai sekarang.
First Meeting Joint Border Committee Indonesia-Timor Leste
dilaksanakan pada 18-19 Desember 2002 di Jakarta. Pada tahap ini disepakati
penentuan batas darat berupa deliniasi dan demarkasi, yang dilanjutkan dengan
perundingan penentuan batas maritim. Kemudian perundingan Joint Border
Committee kedua diselenggarakan di Dilli, pada Juli 2003.
Masalah yang sering terjadi :
Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada diperbatasan
masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi
secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia.
Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang
terdapat di kedua sisi perbatasan, dapat menyebabkan klaim terhadap
hak-hak tradisional, dapat berkembang menjadi masalah yang lebih
kompleks. Disamping itu, keberadaan pengungsi Timor Leste yang
masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial
menjadi permasalahan perbatasan di kemudian hari.
10. Indonesia-Republik Palau
Republik Palau berada di sebelah Timur Laut Indonesia. Secara
geografis negara itu terletak di 060. 51” LU dan 1350.50” BT. Mereka adalah
negara kepulauan dengan luas daratan ± 500 km2.
Berdasarkan konstitusi 1979, Republik Palau memiliki yuridiksi dan
kedaulatan pada perairan pedalaman dan Laut Teritorial-nya hingga 200 mil laut.
Diukur dari garis pangkal lurus kepulauan yang mengelilingi kepulauan.
Masalah yang sering terjadi :
Palau memiliki Zona Perikanan yang diperluas (Extended Fishery
Zone) hingga berbatasan dengan Zona Perikanan Eksklusif, yang lebarnya 200 mil
laut diukur dari garis pangkal. Hal itu menyebabkan tumpang tindih antara ZEE
Indonesia dengan Zona Perikanan yang diperluas Republik Palau. Sehingga, perlu
dilakukan perundingan antara kedua negara agar terjadi kesepakatan mengenai
garis batas ZEE
KONDISI WILAYAH PERBATASAN
Wilayah Perbatasan Darat
Wilayah Perbatasan Kalimantan & Malaysia
Pulau Kalimantan memiliki wilayah perbatasan di 8 (delapan) daerah kabupaten, di Provinsi Kalimantan Barat 5 (lima)
kabupaten (Kab. Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, Bengkayang) sepanjang
966 km dan di Provinsi Kalimantan Timur 3 (tiga) kabupaten (Kab. Nunukan, Kutai
Barat, dan Malinau) sepanjang 1.038 km. Hanya Entikong (Kab. Sanggau, Kalbar)dan Kab. Nunukan
(Kaltim) yang kondisi Custom, Immigration, Quarantine, and Security (CIQS)
sudah cukup baik. Kab.
Bengkayang CIQS-nya masih darurat dan kondisi jalannya sangat buruk. Sedangkan
wilayah lain belum mempunyai pintu perbatasan resmi.
Potensi sumber daya alam wilayah perbatasan di Kalimantan cukup besar dan bernilai ekonomi tinggi seperti hutan produksi, hutan lindung,
taman nasional, dan danau alam yang dapat dikembangkan sebagai daerah
ekowisata, serta sumber daya laut di sepanjang perbatasan maritim. Lemahnya
pengawasan dan penegakan hukum serta rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat
berdampak terhadap munculnya illegal logging oleh oknum pengusaha Malaysia yang
bekerja sama dengan penduduk Indonesia.
Wilayah Perbatasan NTT & Timor Leste
Perbatasan antara Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur) dan Timor Leste
terletak di 3 (tiga) kabupaten,
yaitu Belu, Kupang, dan Timor Tengah Utara (TTU). Garis perbatasan di NTT
tersebar di 9 (sembilan) kecamatan. Pintu perbatasan terdapat di beberapa
kecamatan, namunyang sering digunakan sebagai akses lintas batas adalah di
Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Sarana dan prasarana
perhubungan darat
maupun laut ke pintu perbatasan Timor Leste cukup baik sehingga akses kedua pihak relatif
mudah dan cepat.
Potensi sumber daya alam di wilayah perbatasan NTT tidak terlalu besar.
Kondisi masyarakat umumnya miskin dengan tingkat kesejahteraan rendah dan
bertempat tinggal di wilayah tertinggal dan terisolir. Mata pencarian utama
adalah pertanian lahan kering. Saat ini kondisi masyarakat Indonesia di wilayah
perbatasan lebih baik dari warga Timor Leste.
Wilayah Perbatasan Papua & Papua New Guinea (PNG)
Perbatasan Papua � PNG terletak di Jayapura, Kab. Keerom, Kab. Peg. Bintang, Kab.
Boven Digoel dan Kab. Merauke. Panjang perbatasan itu adalah 760 km
dengan 52 (lima puluh dua) pilar batas. Fasilitas CIQS-nya belum lengkap
tersedia. Secara fisik kondisi wilayah perbatasan ini bergunung-gunung dan
sulit ditembus dengan sarana perhubungan biasa atau kendaraan roda empat. Kondisi masyarakat di
sepanjang wilayah perbatasan Papua sebagian besar masih miskin dengan tingkat kesejahteraan rendah,
tertinggal dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, dan secara umum tidak jauh berbeda dengan masyarakat di Papua New
Guinea.
Wilayah perbatasan Papua memiliki sumber daya alam yang sangat besar berupa hutan konversi dan hutan
lindung dan taman nasional. Selain itu juga terdapat sumber daya air yang cukup
besar dari sungai-sungai, serta kandunganmineral dan logam seperti tembaga dan
emas.
sumber :