Download

Thursday, 8 December 2016

Jenis Pasar, Latar Belakang Monopoli, dan Etika dalam Pasar Kompetitif

Pengertian dari Pasar Persaingan Sempurna (Pasar Kompetitif), Pasar Monopoli dan Pasar Oligopoli

a.                   Pasar Persaingan Sempurna (Pasar Kompetitif)
Pasar ini adalah pasar dengan jumlah penjual dan pembeli yang sangat banyak di banding dengan jenis pasar lainnya. Barang dan jasa yang di jual di pasar ini bersifat homogen dan tidak dapat dibedakan, semua produk terlihat identic. Dalam pasar ini harga terbentuk melalui mekanisme pasar dan hasil interaksi antara penawaran dan permintaan, sehingga penjual dan pembeli di pasar ini tidak dapat memengaruhi harga, oleh karena itu promosi dengan iklan tidak akan memberikan pengaruh terhadap penjualan produk.
Contoh pasar persaingan sempurna (pasar kompetitif) : Pasar barang – barang atau komoditi makanan pokok, seperti Pasar beras.

b.                  Pasar Monopoli
Pasar ini adalah pasar yang hanya terdapat satu kekuatan atau satu penjual atau satu perusahaan yang menguasai seluruh penawarannya. Pada pasar ini tidak ada pihak lain yang menjadi pesaingnya, sehingga menjadi pure monopoly atau monopoli murni. Perusahaan yang monopoli menghasilkan produk yang tidak di produksi oleh perusahaan lain dan tidak ada pengganti yang mirip.
·         Contoh pasar monopoli : Perusahaan – perusahaan Negara, seperti PLN.

c.                   Pasar Oligopoli
Pasar ini adalah pasar yang dimana penawaran satu jenis produk di kuasai oleh beberapa perusahaan. Biasanya jumlah perusahaan lebih dari dua, akan tetapi kurang dari sepuluh. Produk yang di hasilkan oleh perusahaan bersifat homogeny, serta tidak di bedakan dengan perusahaan yang lain. Di pasar perusahaan atau produsen dapat bersaing secara langsung, tapi dapat pula melakukan merger (penggabungan).
·         Contoh pasar oligopoly : Industri sepeda motor, seperti Yamaha, Honda, Suzuki dan Kawasaki.

Kondisi Pasar Monopoli dari Segi Etika Bisnis
Monopoli adalah suatu situasi dalam pasar dimana hanya ada satu atau segelintir perusahaan yang menjual produk atau komoditas tertentu yang tidak punya pengganti yang mirip dan ada hambatan bagi perusahaan atau pengusaha lain untuk masuk dalam bidang industri atau bisnis tertentu. Dengan kata lain, pasar dikuasai oleh satu atau segelintir perusahaan, sementara pihak lain sulit masuk didalamnya. Karena itu, hampir tidak ada persaingan berarti. Perlu kita bedakan anatara 2 macam monopoli:
·         Monopoli Alamiah
·         Monopoli Artifisial
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam kaitan dengan ketimpangan ekonomi yang ditimbulkan oleh praktek monopoli:
1.      Perusahaan Monopolistis diberi wewenangan secara tidak fair untuk menguras kekayaan bersama demi kepentingannya sendiri dalam selubung kepentingan bersama.
2.      Rakyat atau konsumen yang sudah miskin dipaksa untuk membayar produk monopolistis yang jauh lebih mahal.
3.      Ketimpangan ekonomi akibat praktek monopoli juga berkaitan dengan tidak samanya peluang yang terbuka bagi semua pelaku ekonomi oleh adanya praktek ekonomi itu. Dari masalah ketiga yang ditimbulkan oleh praktek monopoli artifisial adalah terlarangnya kebebasan kebebasan baik pada konsumen maupun pada pengusaha.

Kondisi Pasar Persaingan Sempurna (Pasar Kompetitif) dari Segi Etika Bisnis
Pasar persaingan sempurna terjadi ketika jumlah produsen sangat banyak sekali dengan memproduksi produk yang sejenis dan mirip dengan jumlah konsumen yang banyak. Free market competitions atau yang biasa kita kenal dengan pasar bebas, merupakan pasar dimana didalamnya tidak ada unsur intervensi (campur tangan) dari pemerintah. Mekanisme pasar atau tarik ulur antara demand dan supply adalah yang mendasari berjalannya transaksi pasar. Dalam free market competitions biasanya bentuk pasar adalah pasar persaingan sempurna. Melihat kondisi pasar perdagangan internasional sekarang ini, metamorfosis pasar diperkirakan akan menuju ke arah suatu bentuk pasar “free market competition”. Karena pasar bebas merupakan bentuk pasar yang paling adil.
Ada dua etika yang harus di pegang oleh para pelaku pasar agar pasar selalu dalam kondisi ideal dan fairness, yaitu :
Pertama, pasar harus dalam kondisi ekuiblirium. Teori ekonomi mengenal ekuiblirium sebagai titik pertemuan antara demand dan supply. Dalam etika pasar islami, ekuiblirium diartikan sebagai titik pertemuan persamaan hak antara pembeli dan penjual. Hak yang seperti apa Hak pembeli untuk mendapatkan barang dan hak penjual untuk mendapatkan uang yang sepantasnya dari barang yang dijualnya. Dalam konteks hak ini, kewajiban-kewajiban masing-masing pihak harus terpenuhi terlebih dahulu, kewajiban bagi penjual untuk membuat produk yang berkualitas dan bermanfaat dan bagi pembeli untuk membayar uang yang sepantasnya sebagai pengganti harga barang yang dibelinya.
Kedua, adanya optimasi manfaat barang oleh pembeli dan penjual. Dapat diartikan sebagai pertemuan antara kebutuhan pembeli dengan penawaran barang oleh penjual sebagai bentuk ta’awun atau lebih keren kita sebut sebagai bertemunya need dan order. Bertemunya dua hal ini, menjadikan barang yang ditransaksikan membawa manfaat, dan menghilangkan kemubadziran dan kesia-siaan.
Pasar dan Perlindungan Terhadap Konsumen
Banyak orang percaya bahwa konsumen secara otomaris terlindungi dari kerugian dengan adanya pasar yang bebas dan kompetitif, dan bahwa pemerintah atau para pelaku bisnis tidak mengambil langkah –langkah yang di perlukan untuk menghadapi masalah ini. Pasar bebas mendukung alokasi, penggunaan dan distribusi barang – barang yang dalam artian tertentu adil, menghargai hak dan memiliki nilai kegunaan maksimum bagi orang-orang yang berpartisipasi dalam pasar. Di pasar seperti ini konsumen di katakan “berdaulat penuh”, saat konsumen menginginkan dan bersedia membayar untuk suatu produk, para penjual memeroleh insentif untuk memenuhi keinginan mereka.
Dalam pendekatan pasar terhadap perlindungan konsumen, keamanan konsumen di lihat sebagai produk yang paling efisien bila di sediakan melalui mekanisme pasar bebas, di mana penjual memberikan tanggapan terhadap permintaan konsumen.
Adapun kewajiban konsumen untuk melindungi kepentingannya atau pun produsen yang melindungi kepentingan konsumen, sejumlah teori berbeda tentang tugas etis produsen telah di kembangkan, masing –masing menekankan keseimbangan yang berbeda antara kewajiban konsumen kepada dirinya sendiri dengan kewajiban produsen kepada konsumen, meliputi pandangan kontrak, pandangan “due care” dan pandangan biaya sosial, berikut adalah penjelasannya :

1.                  Pandangan Kontrak Kewajiban Produsen Terhadap Konsumen
Menurut pandangan ini, hubungan antara perusahaan dengan konsumen pada dasarnya merupakan hubungan kontraktual, dan kewajiban moral perusahaan kepada konsumen adalah seperti yang di berikan dalam hubungan kontraktual. Pandangan ini menyebutkan bahwa saat konsumen membeli sebuah produk, konsumen secara suka rela menyetujui “kontrak penjualan” dengan perusahaan. Pihak perusahaan secara sukarela dan sadar setuju untuk memberikan sebuah produk kepada konsumen dengan karakteristik tertentu dan konsumen juga dengan sukarela dan sadar setuju membayar sejumlah uang kepada perusahaan untuk produk tersebut.

2.                  Teori Due Care
Teori ini menerangkan tentang kewajiban perusahaan terhadap konsumen di dasarkan pada gagasan bahwa pembeli atau konsumen tidak saling sejajar, dan bahwa kepentingan – kepentingan konsumen sangat rentan terhadap tujuan – tujuan perusahaan yang dalam hal ini memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak di miliki konsumen. Karen produsen berada dalam posisi yang lebih menguntungkan, mereka berkewajiban untuk menjamin bahwa kepentingan – kepentingan konsumen tidak di rugikan oleh produk yang mereka tawarkan. Pandangan due care ini juga menyatakan bahwa konsumen harus bergantung pada keahlian produsen, maka produsen tidak hanya berkewajiban untuk memberikan produk yang sesuai klaim yang di buatnya, tetapi juga wajib berhati – hati untuk mencegah agar orang lain tidak terluka oleh produk tersebut, sekalipun perusahaan secara eksplisit menolak pertanggungjawaban ini bila mereka gagal memberikan perhatian yang seharusnya bisa di lakukan dan perlu di lakukan untuk mencegah agar orang lain tidak di rugikan oleh penggunaan suatu produk.

3.                  Pandangan Teori Biaya Sosial
Teori ini menegaskan bahwa produsen bertanggungjawab atas semua kekurangan produk dan setiap kekurangan yang dialami konsumen dalam memakai produk tersebut. Teori ini merupakan versi yang paling ekstrim dari semboyan “caveat vanditor” (hendaknya si penjual berhati – hati). Walaupun teori ini menguntungkan konsumen, rupanya sulit mempertahankannya juga. Kritik yang dapat di ungkapkannya sebagai berikut, pertama teori biaya sosial tampaknya kurang adil, karena menganggap orang bertanggungjawab atas hal – hal yang tidak di ketahui atau tidak bisa di hindarkan, kedua membawa kerugian ekonomis, bila teori ini di praktekan maka produsen terpaksa harus mengambil asuransi terhadap kerugian dan baiaya asuransi itu bisa menjadi begitu tinggi, sehingga tidak terpikul lagi oleh banyak perusahaan.

Etika Iklan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, iklan ditinjau dari dua segi, yaitu sebagai kata benda dan kata kerja.  Iklan sebagai kata benda berarti berita atau pesan untuk mendorong dan membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan; atau pemberitaan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual, yang dipasang pada media massa (surat kabar dan majalah) atau ditempat umum.  Sebagai kata kerja, iklan berarti memberitahukan atau memperkenalkan kepada umum.  Dari pengertian di atas, iklan sebagai media, yang diharapkan dapat mendorong, memiliki kedekatan antara iklan sebagai benda dan iklan sebagai muatan bisnis, yang berupa rekayasa.  Dengan demikian iklan secara keseluruhan seharusnya dapat dimengerti sebagai mediator yang dibuat semenarik mungkin tanpa mengurangi bobot dan misinya.
Menurut Thomas M. Garret, SJ, iklan dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang lewatnya pesan-pesan visual atau oral disampaikan kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau memengaruhi mereka untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi secara positif terhadap ideaidea, institusi-institusi tau pribadi-pribadi yang terlibat di dalam iklan tersebut
Pengertian etika menurut PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) adalah sekumpulan norma/asas/sistem perilaku yang dibuat oleh sekelompok tertentu yang harus dibuat oleh sekelompok tertentu yang harus ditaati oleh individu/kelompok individu yang menjadi anggotanya atas dasar moralitas baik buruk atau benar salah untuk hal/aktivitas/budaya tertentu.  Periklanan adalah proses pembuatan dan penyampaian pesan yang dibayar dan disampaikan melalui sarana media massa yang bertujuan menunjuk konsumen untuk melakukan tindakan membeli/mengubah perilakunya.
Etika memiliki beberapa sifat dasar yang berlaku universal, yaitu :
1.     Punya nilai moral (baik buruk, benar salah)
2.     Punya nilai sosial (melindungi kepentingan orang yang lebih banyak)
3.     Bersifat relatif (sesuatu yang dianggap baik/benar pada kelompok/era tertentu belum tentu baik/benar pada kelompok/era lainnya)
4.   Buatan manusia (dibuat karena suatu kebutuhan untuk mengatur perilaku sesama demi kepentingan masyarakat banyak)
5.    Melestarikan tujuan bersama (kelanggengan eksistensi kebersamaan untuk mencapai tujua kelompok)

Ciri – ciri iklan yang baik, antara lain :
a.   Etis            :  berkaitan dengan kepantasan.
b.   Estetis       :  berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiens, kapan harus ditayangkan).
c.   Artistik      :  bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak
Fungsi Periklanan
Periklanan mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada iklan yang semata-mata persuasif. Iklan tentang produk baru biasanya mempunyai informasi yang kuat. Misalnya tentang tempat pariwisata dan iklan tentang harga makanan di toko swalayan. Sedangkan iklan tentang produk yang ada banyak mereknya akan memiliki unsur persuasif yang lebih menonjol, seperti iklan tentang pakaian bermerek dan rumah (Bertens, 2000 : 265)

Prinsip moral dalam periklanan
Terdapat paling kurang 2 prinsip moral, sehubungan dengan penggagasan mengenai etika dalam iklan. Ketiga prinsip itu adalah :
(1) Prinsip Kejujuran
Prinsip kejujuran berhubungan dengan kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan seringkali dilebih-lebihkan, sehingga bukannya menyajikan informasi mengenai persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen, tetapi mempengaruhi bahkan menciptakan kebutuhan baru. Maka yang ditekankan disini adalah bahwa isi iklan yang dikomunikasikan haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya dari produksi barang dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi logis adalah upaya manipulasi dengan motif apapun juga
(2) Prinsip Martabat Manusia sebagai Pribadi
Bahwa iklan semestinya menghormati martabat manusia sebagai pribadi semakin ditegaskan dewasa ini sebagai semacam tuntutan imperatif (imperative requirement).
Iklan semestinya menghormati hak dan tanggungjawab setiap orang dalam memilih secara bertanggungjawab barang dan jasa yang ia butuhkan, ini berhubungan dengan dimensi jasa yang ditawarkan (lust), kebanggaan bahwa memiliki barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarakat, dan lain-lain

Hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam sebuah iklan
Dalam etika pariwara Indonesia juga dimuat tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam mengiklankan sebuah produk yaitu:
1.  Pemeran iklan yang tertuang sebagai berikut
a.  Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa di dampingi orang dewasa.
b.  Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan-adegan yang berbahaya, menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.
c.  Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak.
d.  Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi daya rengek (pester power) anak-anak dengan maksud memaksa para orang tua untuk mengabulkan permintaan anak-anak mereka akan produk terkait.
2. Iklan tidak boleh meniru ikon atau atribut khas yang telah lebih digunakan oleh sesuatu iklan produk pesaing dan masih digunakan hingga kurun dua tahun terakhir.
3.  Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung.
4. Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
5. Iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyesatkan atau membingungkan khalayak. Peniruan tersebut meliputi baik ide dasar, konsep atau alur cerita, setting, komposisi musik maupun eksekusi. Dalam pengertian eksekusi termasuk model, kemasan, bentukmerek, logo, judul atau subjudul, slogan, komposisi huruf dan gambar, komposisi musik baik melodi maupun lirik, ikon atau atribut khas lain, dan properti.
6. Pemakaian Kata “Gratis”, Kata “gratis” atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas.
Etika periklanan di Indonesia diatur dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI).  EPI menyusun pedoman tata krama periklanannya melalui dua tatanan, antara lain :
1.      Tata Krama (Code of Conducts)
Metode penyebarluasan pesan periklanan kepada masyarakat, yang bukan tentang unsur efektifitas, estetika, dan seleranya.  Adapun ketentuan yang dibahas meliputi :
a)     Tata krama isi iklan
b)     Tata krama ragam iklan
c)     Tata krama pemeran iklan
d)     Tata krama wahana iklan
2.      Tata Cara (Code of Practise)
Hanya mengatur praktek usaha para pelaku periklanan dalam memanfaatkan ruang dan waktu iklan yang adil bagi semua pihak yang saling berhubungan.  Ada 3 asas umum yang EPI jadikan dasar, yaitu :
a.    Jujur, benar, dan bertanggungjawab.
b.    Bersaing secara sehat.
c.    Melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Hukum di Indonesia yang Mengatur sebuah Iklan
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrument untuk mengatur hak-hak dan kewajiban subjek hukum agar masing-masing subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar.  Seperti yang sudah dijelaskan dalam latar belakang, regulasi atau peraturan yang mengatur adanya konten negative dalam sebuah iklan sebenarnya telah diterbitkan, namun tetap saja seringkali dijumpai konten-konten negative tersebut bermunculan dan tidak kunjung mendapatkan pengawasan dari pihak yang berwewang.
Beberapa produk hukum yang seharusnya mengatur adanya konten negative dalam iklan bisa ditemukan seperti :
1.      Kode Etik Periklanan Indonesia
2.      Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi
3.      P3SPS Pasal 14 dan 16
4.      Pasal 49 tentang Siaran Iklan.
Semua produk hukum diatas telah menerbitkan regulasinya yang seharusnya ditaati dan dijalankan dengan sebaik-baiknya.  Kode etik periklanan telah memberi penjelasan dalam beberapa pointnya tentang dilarangnya konten pornografi dalam sebuah iklan.  Ciri-ciri iklan yang baik menurut Etika Periklanan Indonesia adalah etis, estetis, dan artistik.  Etis berarti berkaitan dengan kepantasan, estetis berarti berkaitan dengan kelayakan yang mencakup target pasar, target penonton dan kapan harus ditayangkan sedangkan artistik berarti bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.
Sebagai negara yang menganut budaya ketimuran dan memegang adat sopan santun dalam segala sesuatunya (salah satu dalam kehidupan sehari-hari yaitu cara berpakaian) seharusnya pembuat iklan atau pihak advertasi memperhatikan sasaran konsumen yang akan dicapai oleh perusahaan tersebut.  Dimana konsumen mereka berada, bagaimana budayanya, dan bagaimana kebiasaan dari sasaran konsumen mereka.  Jika mereka membuat iklan dengan sasaran konsumen untuk masyarakat Indonesia maka mereka juga harus mengerti bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memegang adat sopan santun dan bukan buadaya barat.
1.                  Etika Produksi
                Etika Produksi adalah seperangkat prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menegaskan tentang benar dan salahnya hal hal yang dikukan dalam proses produksi atau dalam proses penambahan nilai guna barang.
Tujuan Produksi antara lain :
1. Memperbanyak jumlah barang dan jasa
2. Menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas tinggi
3. Memenuhi kebutuhan sesuai dengan peradaban
4. Mengganti barang-barang yang rusak atau habis
5. Memenuhi pasar dalam negeri untuk perusahaan dan rumah tangga
6. Memenuhi pasar internasional
7.Meningkatkan kemakmuran

2.                  Privasi atas Konsumen
Pengertian privasi konsumen
Claire (2004) menerangkan bahwa privasi merupakan bentuk perlindungan kepribadian. Penjelasan ini menerangkan bahwa privasi adalah suatu situasi dimana seseorang diperbolehkan untuk menjaga informasi individu. Selain itu, privasi diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengatur kelengkapan informasi pribadi, yang mana informasi tersebut akan dibutuhkan dan digunakan pihak lain (Ackerman dan Culnan, 2002).
Konsumen adalah orang yang membeli suatu produk hanya untuk digunakan olehnya (pemakai akhir), bukan untuk dijual kembali.

Hukum yang memuat tentang privasi konsumen
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik “Data pribadi adalah data perorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaan”. Perlindugan data pribadi merupakan hal yang penting bagi konsumen itu sendiri dalam melakukan transaksi online sebab data pribadi tersebut berhubungan dengan keamanan konsumen itu sendiri. Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum.  (Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.)
Oleh karena itu apabila terjadinya pembajakan data pribadi yang dapat berakibat hilang, berubah atau bocornya data rahasia milik konsumen, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan perlindungan hukum terhadap keamanan data elektronik tersebut dari pengaksesan ilegal yang terdapat dalam Pasal 30 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Adapun bunyi dari Pasal 30 dan Pasal 46 tersebut yaitu:
Pasal 30 berbunyi :
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

Pasal 46 berbunyi :
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Berdasarkan uraian tersebut diatas konsumen mendapatkan perlindungan terhadap privasinya dimana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah menjamin perlindungan konsumen terhadap privasinya.

3.                  Multimedia Etika Bisnis
Etika dalam berbisnis tidak dapat diabaikan, sehingga pelaku bisnis khususnya multimedia, dalam hal ini perlu merumuskan kode etik yang harus disepakati oleh stakeholder, termasuk di dalamnya stasiun TV, radio, penerbit buku, media masa, internet provider, event organizer, advertising agency, dll.
Internet memungkinkan siapa saja bisa mempublikasikan informasi dengan cepat dan instan dengan biaya kecil (zero cost). Internet bersifat dinamis, interaktif, dan memungkinkan pertukaran pikiran dan gagasan. Di ranah jurnalisme, internet melahirkan jurnalisme online dan menawarkan saluran informasi baru berupa media online. Foust (2005) mencatat beberapa kekuatan atau potensi jurnalisme online sebagai sumber informasi utama bagi masyarakat, antara lain:
pertama, audience bias lebih leluasa dalam memilih berita yang ingin didapatkannya (audience control).
Kedua,setiap berita yang disampaikan dapat berdiri sendiri (nonlienarity).
Ketiga, berita tersimpan dan bisa diakses kembali dengan mudah oleh masyarakat (storage and retrieval).
Keempat, jumlah berita yang disampaikan menjadi jauh lebih lengkap (unlimited space).
Kelima, informasi dapat disampaikan secara cepat dan langsung kepada masyarakat (immediacy).
Keenam, redaksi bisa menyertakan teks, suara, gambar animasi, foto, video dan komponen lainnya di dalam berita yang akan diterima oleh masyarakat (multimedia capability).
Ketujuh, memungkinkan adanya interaksi(interactivity).
Kehadiran jurnalisme online telah merevolusi pemberitaan dimana kecepatan menjadi faktor utama. Kini, berita bukan lagi peristiwa yang ‘telah berlangsung’, tetapi peristiwa yang ‘sedang berlangsung’ yang disiarkan media. Jurnalisme online yang disiarkan melalui internet menyajikan berita yang memungkinkan pengguna untuk meng-update berita dan informasi secara cepat dan saling berhubungan. Karena itu, orang melihat internet sebagai media yang ‘cepat’ dari pada yang ‘lebih detil’ menyajikan informasi.

No comments:

Post a Comment